image1 image2 image3

HELLO WORLD I'IAM ULFAH CHOIRUN NISSA|WELCOME TO MY PERSONAL BLOG|I LOVE TO DO CREATIVE THINGS|I'M PROFESSIONAL WEB DEVELOPER

Gadis yang Berani Bermimpi

 


Hidup, kadang terasa seperti untaian mimpi yang berlari tanpa ujung.

Beberapa mimpi tumbuh diam-diam di usia belasan—ketika dunia terasa luas, dan hati masih penuh keberanian yang polos. Di antara semua mimpi yang pernah lahir dalam kepalaku, ada satu yang sejak dulu paling menuntut untuk diperjuangkan.

Aku masih ingat, betapa seringnya aku menatap layar televisi dengan mata berbinar, menonton dorama atau anime yang menampilkan kehidupan di negeri itu—negara yang bagiku terasa seperti dunia lain. Dari budaya yang penuh tata krama, pemandangan yang tertib dan bersih, hingga festival yang sarat makna. Jepang seperti rumah kedua yang belum pernah kudatangi.
Dan sejak saat itu, tanpa banyak alasan logis, aku jatuh cinta.

Suatu hari, aku menulis di halaman belakang buku harian:
“Suatu saat nanti, aku akan ke Jepang.”
Kalimat itu tampak sederhana, tapi di baliknya ada keberanian kecil yang mulai tumbuh. Aku tahu, sebagian orang mungkin menertawakanku, menganggap impian itu terlalu tinggi. Namun aku memilih untuk menyimpannya baik-baik—lima sentimeter di atas keningku—agar selalu dekat dengan pikiran dan tidak mudah pudar. Karena bagiku, memiliki impian adalah cara paling jujur untuk tetap hidup.

Aku belajar bahwa mimpi bukan hanya tentang tempat tujuan, tapi juga tentang perjalanan menemukan diri sendiri.

Waktu berjalan, dan aku mulai belajar mengenali siapa diriku.
Lewat tes psikotes di sekolah, aku tahu bahwa aku bukan tipe anak dengan nilai sains tinggi, tapi aku punya kemampuan lain: berbicara, bekerja sama, dan memimpin. Pa Yedi, guru BK yang sabar itu, tersenyum padaku dan berkata,
“Kamu punya energi yang bisa membuat tim hidup, Ulfah. Dunia komunikasi cocok untukmu.”
Sejak hari itu, aku percaya, kata-kata bisa menjadi jalanku menuju masa depan.

Aku mulai menulis majalah kecil buatan tangan sendiri—Japanese Here dan Europe Here. Aku menyusunnya dengan semangat yang jauh lebih besar daripada kemampuan desainku saat itu. Ketika akhirnya majalah itu terpajang di perpustakaan sekolah dan teman-teman mulai membacanya, hatiku bergetar. Mungkin begini rasanya ketika mimpi kecil mulai menemukan wujudnya.

Tentu saja, perjalananku di sekolah tidak selalu lembut seperti narasi dalam buku. Ada masa di mana aku menjadi bahan olok-olok karena hal-hal sepele—aku tak bisa menyebut huruf R dengan sempurna, terlalu cepat bicara saat berdebat, dan dikenal terlalu ingin tahu.
Namun, waktu mengajarkanku sesuatu: kelemahan pun bisa jadi jembatan menuju keberanian.

Teman-teman mungkin awalnya menertawakan caraku bicara, tapi mereka juga tahu, akulah orang yang paling cepat memberi semangat ketika mereka ragu. Aku selalu punya kata-kata untuk membuat tawa kembali. Lambat laun, ejekan itu berubah menjadi panggilan akrab; dari “si cadel” menjadi “si cerewet yang bikin ramai.” Mereka tahu, aku tidak sempurna, tapi aku tulus. Dan kadang, itu lebih berarti daripada apa pun.

Aku aktif di berbagai kegiatan sekolah—OSIS, Paskibra, Teater, hingga IT Club.
Setiap organisasi memberiku pelajaran tentang tanggung jawab, kepemimpinan, dan kebersamaan. Tapi lebih dari itu, aku belajar tentang arti hadir bagi orang lain. Aku senang menjadi tempat curhat, memberi semangat, atau sekadar mendengarkan. Mungkin itulah alasanku mencintai dunia komunikasi—karena aku percaya, setiap hubungan dimulai dari keberanian untuk memahami.

Namun di antara semua kegiatan itu, teater tetap yang paling kucintai.
Di atas panggung, aku bebas menjadi siapa saja—gadis patah hati, pahlawan, atau cermin dari diriku sendiri. Setiap peran membuatku merasa hidup; di sana, aku belajar bahwa setiap topeng yang kita kenakan justru menuntun kita untuk mengenali wajah sejati yang ada di baliknya.

Lalu datanglah tahun 2014—tahun yang kemudian kutandai sebagai tahun perjuangan.
Ada banyak hal yang terjadi: kegagalan, keberanian mencoba, kehilangan, dan kebahagiaan kecil yang tumbuh dari kesederhanaan. Aku menulisnya dalam catatan harian dengan judul 12 Struggles of My Life.
Di antara perjuangan itu, aku belajar bahwa mencari pekerjaan tidak mudah, bahwa uang hasil kerja keras terasa jauh lebih berharga, bahwa kuliah tidak seindah bayangan remaja. Tapi di sisi lain, aku juga belajar bahwa teman bisa menjadi keluarga, dan tawa bisa menjadi pengobat segala lelah.

Hidup mengajarkanku bahwa pada akhirnya, kita sendirilah yang menentukan arah perjalanan ini.
Di perantauan, aku harus belajar mandiri. Tak ada lagi mama yang mengingatkan makan, tak ada papa yang diam-diam menambahkan uang saku. Aku mulai memahami makna dewasa bukan dari usia, melainkan dari cara kita bertahan saat tidak ada lagi tempat bersandar.

Suatu malam, di tengah tumpukan pekerjaan dan rutinitas yang menjemukan, aku menonton drama Korea Twenty-Five, Twenty-One. Ceritanya tentang dua anak muda yang berjuang mengejar impian di tengah ketidakpastian hidup. Ada semangat, ada cinta, dan ada kehilangan. Entah mengapa, setiap adegannya terasa akrab—seperti potongan masa laluku sendiri.

Aku melihat sosok diriku di sana: remaja penuh api yang berani menantang dunia, tapi perlahan mulai belajar menerima kenyataan bahwa tidak semua impian harus diwujudkan dalam bentuk yang sama.
Kadang, mimpi tidak harus menjadi nyata untuk disebut berhasil; cukup tumbuh menjadi bagian dari siapa kita sekarang.

Kini, ketika menatap cermin, aku sering tersenyum kecil.
Aku bukan lagi gadis cerewet yang dulu mudah bercerita, tapi di dalam diri yang lebih tenang ini, masih ada gadis kecil yang menyimpan mimpi dengan mata berbinar.
Mimpi itu tidak padam—ia hanya beristirahat sejenak, menunggu aku memanggilnya kembali, dengan keyakinan yang lebih dewasa tapi hati yang tetap hangat seperti dulu.

Hidup orang dewasa memang berbeda.
Kini, impian sering kali berganti bentuk menjadi daftar sederhana: rumah kecil yang nyaman, pekerjaan yang stabil, keluarga yang utuh. Tak ada yang salah dengan itu. Tapi kadang, di sela-sela kesibukan, aku rindu pada diriku yang dulu—gadis yang berani bermimpi tanpa takut gagal, yang percaya bahwa dunia bisa ditaklukkan dengan tekad dan sedikit keberanian.

Dan jika suatu hari nanti aku benar-benar menjejakkan kaki di Jepang, aku tahu aku tak akan menangis karena akhirnya sampai—tapi karena aku tak pernah berhenti percaya.

Karena mimpi, seaneh apa pun bentuknya, adalah jantung kehidupan.
Ia tumbuh seiring waktu, berubah, berkelok, tapi tak pernah benar-benar hilang.
Selama kita masih berani berharap, selama kita masih ingin berjuang, mimpi akan selalu menemukan jalannya untuk kembali pulang.

“Menjadi diri sendiri adalah keberanian paling tulus.
Karena di dunia yang sibuk menyuruh kita menyerupai orang lain,
tetap menjadi diri sendiri adalah bentuk tertinggi dari mimpi yang sudah terwujud.”


Share this:

CONVERSATION

0 komentar:

Posting Komentar