~ Kisah Seorang Penggerutu yang Mengelilingi Dunia Mencari Negara Paling Membahagiakan~
source gambar : goodreads |
Judul : The Geography of Bliss : Kisah Seorang Penggerutu yang Mengelilingi Dunia Mencari Negara Paling Membahagiakan
Penulis : Eric Weiner
Penerbit : Qanita Mizan
Tahun Terbit : 2011
Tebal buku : 512 halaman
"Apakah anda bahagia ?"
Pertanyaan singkat, sepele yang menjadi dasar perjalanan sang penulis menelusuri beberapa negara berdasarkan tingkat kebahagiaan negara tersebut menurut suatu survei . Dengan berbekal data dari WDH (World Database Happiness) yang ada di Belanda, penulis memulai perjalanannya ke Swiss, Qatar, Moldova, India dan beberapa negara lainnya hingga Amerika, negara asal sang penulis.
Sebenarnya apa makna kebahagiaan itu sendiri ? Apa bedanya dengan kesenangan ? Dengan kenyamanan ? Apa yang sebenarnya dicari penulis ?
Memulai perjalanan ke Swiss yang indeks kebahagiaannya mendekati sempurna , yang semua kehidupannya sangat teratur. Mulai waktu untuk mencuci dan menjemur pakaian, larangan bercengkrama setelah lewat pukul 9 malam dan berbagai macam aturan lainnya yang begitu ditaati penduduknya. Apakah kebahagiaan berarti kepatuhan ? Keteraturan yang ada di negara Swiss tidak lepas dari rasa saling percaya antar warga negaranya tanpa memikirkan finansial (karena di Swiss semua bisa terjamin), namun Eric belum puas dengan hal itu , ia melanjutkan perjalanan ke Qatar.
Qatar, negeri gurun yang yang dikelilingi tambang emas (minyak bumi), 98,9% terdiri dari pasir, sisanya daratan. Apa makna kebahagiaan disini ? Uang kah ? Qatar bisa dikatakan sebagai neouveou rich (orang kaya baru) di kalangan Asia , karena sebelumnya mereka mungkin belum bisa mengelola minyak buminya sehingga devisanya masih dikelola asing, namun sekarang, Qatar muncul dengan seolah-olah ingin menunjukkan bahwa 'Qatar itu ada' dengan cara (maaf) menghambur-hamburkan uangnya. Misal : membeli klub sepakbola terkaya, membangun gedung dengan arsitektur dan segala macam kemewahan yang ada. Namun, dengan uang yang dimiliki, apakah Qatar bahagia ? Qatar tidak memiliki kebudayaan yang berarti , uang tidak bisa membeli kebudayaan. Orang Qatar bilang, anda harus menjadi Islam untuk mengetahui kebahagiaan orang Qatar (sedikit setuju dan sedikit tidak, karena terkesan terlalu memaksakan tanpa memberi alasan yang ril). Tentu saja Eric belum puas dengan jawaban ini, karena Eric tidak mau secara mendadak menjadi muslim.
Ada indeks negara paling bahagia di dunia, tentu ada parameter 'negara tidak bahagia' di dunia. Eric pergi ke Moldova, negara pecahan Uni Soviet, dekat dengan Rusia dan Uzbekistan. Kebalikannya dari Swiss, di Moldova , orang hidup sangat tidak teratur. Dan ketika Eric bertanya , "apakah anda bahagia ?" pada orang Moldova, orang Moldova tsb dengan sendirinya menjawab "kami tidak bahagia, tidak ada yang bisa kami banggakan disini, bahkan kami tidak memiliki bahasa nasional kami sendiri" . Eric merasa membuang waktu ? Tentu tidak, dia tetap melanjutkan perjalanannya untuk mencari negara paling bahagia di dunia.
Dan akhirnya, ia kembali ke tanah airnya, Amerika. Dengan membandingkan semua hal yang sudah didapatkan selama perjalanannya , Eric merasa lebih nyaman berada di negaranya tersebut. Jadi sebenarnya apa yang Eric cari ? Kenapa bersusah payah mencari negara paling bahagia jika ia merasa bahagia saat kembali ke tanah airnya ?
***
Dari banyak perjalanan yang sudah Eric lakukan, Eric menyimpulkan bahwa uang tidak melulu membuat orang bahagia. Qatar contohnya, memiliki banyak uang namun tidak memiliki kebudayaan, sehingga tidak ada yang bisa dibanggakan sbg contoh bentuk peradabannya. Bhutan, menjadikan Indeks Kebahagiaan per Kapita daripada Indeks Pendapatan per Kapita sebagai tolak ukur kemajuan negerinya. Apa yang bisa diukur dari kebahagiaan ? Namun penduduknya hidup dalam kedamaian walau (maaf) menurut saya jauh dari peradaban yang sudah maju sekarang.
Hal yang membuat orang merasa bahagia lebih terletak pada interaksi sosial antar penduduk negeri tersebut, adanya rasa saling percaya, saling tolong - menolong, dll. Penelitian menunjukkan bahwa orang yang melakukan aktivitas sosial (relawan dll) cenderung lebih bahagia daripada ia yang tidak melakukan aktivitas sosial. Karena kebahagiaan itu bersifat relasional, tidak ada kebahagiaan yang bersifat pribadi.
"jika anda membeli roti lalu memakannya sendiri, itu adalah kesenangan, namun jika anda membeli roti lalu anda memakannya dengan sahabat anda, maka itu adalah kebahagiaan", tulis eric dalam bukunya yang menunjukkan bahwa kebahagiaan itu bersifat relasional .
Membaca buku ini untuk saya sendiri semakin merasa bersyukur tinggal di Indonesia, dimana masih bisa saling bertegur sapa , memiliki selera humor yang tinggi (orang Swiss selalu serius, tidak memiliki selera humor) , bisa berpelukan dengan orangtua dll (ada daerah di Inggris yang melarang untuk berpelukan walaupun hubungannya orangtua - anak) , duh sedih banget ya gabisa berpelukan ,padahal kan 'hugs makes betteeeer :D' , dan banyak hal lainnya yang membuat saya semakin bersyukur dengan keadaan di sini, namun tetap ada beberapa hal di Indonesia yang masih harus diperbaiki.
0 komentar:
Posting Komentar