image1 image2 image3

HELLO WORLD I'IAM ULFAH CHOIRUN NISSA|WELCOME TO MY PERSONAL BLOG|I LOVE TO DO CREATIVE THINGS|I'M PROFESSIONAL WEB DEVELOPER

Perempuan dan Perjalanan Waktu

Ada satu waktu dalam hidupku, ketika dunia terasa begitu cepat berputar—antara mimpi, tanggung jawab, dan cinta yang kian menua bersama waktu. Aku tak tahu sejak kapan aku mulai berpacu dengan hari, tapi rasanya seperti baru kemarin aku duduk di bangku kuliah dengan semangat muda dan tawa yang memenuhi ruang kelas.

Aku masih ingat jelas, pagi-pagi di kampus dengan buku tebal berisi rumus dan kode. Saat itu aku adalah mahasiswi semester tiga yang sedang berusaha berdamai dengan dunia penuh angka—matematika diskrit, probabilitas, algoritma, logika informatika—semuanya seperti teka-teki yang harus kutaklukkan. Aku tidak terlahir jenius, bahkan dulu di SMK aku sering remedial berkali-kali. Tapi aku punya sesuatu yang lebih kuat dari kepintaran: tekad dan semangat juang.

Setiap malam menjelang UTS, aku dan teman-teman bergadang dengan sistem “SKS”—Sistem Kebut Seminggu. Kopi sachet menjadi teman setia, mata sembab menjadi bukti perjuangan. Kadang kami menertawakan soal yang tak masuk akal, kadang kami menahan panik saat ujian tiba. Aku masih ingat bagaimana aku harus dipindahkan bangku karena ketahuan berdiskusi saat matematika diskrit, atau bagaimana aku salah mengetik kode saat praktikum karena panik. Tapi entah kenapa, semua kelelahan itu terasa indah bila kuingat sekarang—seolah masa itu mengajarkanku bahwa perjuangan tak selalu tentang hasil, tapi tentang keberanian untuk tetap berusaha.

Selain ruang kelas, aku punya rumah kedua: Suaka, tempatku belajar tentang makna kebersamaan dan idealisme. Di sana aku belajar menulis, meliput, berdebat, dan tertawa. Aku ikut rapat, mengejar deadline tabloid, mencari iklan, bahkan pulang malam demi acara Suaka Goes to School. Kadang tubuh lelah, tapi hati hangat. Aku merasa hidup di antara orang-orang yang berjuang bukan hanya untuk nilai, tapi untuk makna.

Di sela kesibukan itu, ada satu cerita yang tumbuh perlahan: tentang seseorang yang awalnya hanya teman diskusi biasa. Ia sabar mendengar keluhanku tentang algoritma yang rumit, menertawakan logika burukku, dan diam-diam menguatkanku setiap kali aku hampir menyerah. Kami tidak pernah mengaku saling jatuh cinta, tapi waktu yang mempertemukan kami dalam kesunyian kampus, lalu menyatukan langkah kami di kehidupan yang sebenarnya. Kini, ia adalah suamiku—teman seperjuangan yang dulu hanya sebatas tawa dan obrolan sore.

Setelah lulus, hidup berjalan cepat. Dunia kerja menyambut dengan tuntutan dan tanggung jawab baru. Namun, perjuangan sesungguhnya dimulai ketika aku menjadi seorang ibu. Saat Hannah lahir, dunia seolah berhenti sebentar. Aku menatap wajah mungilnya dan sadar—di sanalah makna hidupku kini berpindah. Tiga bulan cuti terasa terlalu singkat, dan aku harus kembali ke kantor sementara hati tertinggal di rumah.

Ada rasa bersalah yang tak pernah benar-benar hilang, terutama saat harus menitipkan Hannah pada neneknya. Orang-orang berkata, ibu bekerja kehilangan waktu berharga dengan anaknya. Tapi aku tak percaya itu. Aku tidak kehilangan—aku berbagi. Aku bekerja bukan karena ingin menjauh, tapi karena ingin memberi. Dan di setiap langkah pergi dan pulang, aku selalu membawa doa kecil agar Hannah tahu: cinta seorang ibu bisa hadir dalam banyak bentuk—bahkan dalam diam, bahkan di tengah rapat yang panjang.

Kadang malam datang terlalu cepat, tubuh lelah, mata berat, tapi Hannah tersenyum saat kugendong. Semua lelah seketika lenyap. Ada bahagia sederhana yang tak bisa dijelaskan: melihatnya tumbuh, mendengar tawa kecilnya, memeluknya setelah hari yang panjang.

Aku sering merenung, bagaimana waktu membawaku sejauh ini. Dari seorang gadis yang dulu takut gagal, menjadi perempuan yang belajar menghadapi hidup dengan penuh keberanian. Aku pernah hampir menyerah pada rumus dan logika, tapi kini aku belajar rumus kehidupan yang jauh lebih sulit: keseimbangan antara mimpi dan tanggung jawab.

Aku tahu aku bukan perempuan sempurna. Kadang aku menangis dalam diam, merasa tak cukup baik sebagai ibu, istri, atau pekerja. Tapi aku juga tahu, tak ada perjuangan yang sia-sia. Karena setiap langkah kecil yang kutempuh hari ini adalah bagian dari cinta yang besar—untuk keluarga, untuk masa depan, untuk diriku sendiri.

Dan setiap kali aku merasa lelah, aku kembali mengingat kata-kata yang dulu kutulis di halaman buku catatan kampus:

“Untuk mengeluh pun aku tak berhak.”

Maka aku melangkah lagi.
Pelan, tapi pasti.
Karena perempuan seperti aku tidak berhenti di tengah jalan. Kami berlari dengan cara kami sendiri—kadang tertatih, kadang penuh semangat, tapi selalu dengan cinta.

Kini, saat menatap Hannah tidur di pelukanku, aku sadar waktu tidak pernah mencuri apa pun dariku. Ia hanya mengajarkanku bahwa setiap fase hidup punya keindahannya sendiri.
Dulu aku berlari mengejar nilai, kini aku berlari mengejar waktu bermain dengan anakku.
Dulu aku bermimpi menjadi seseorang, kini aku ingin menjadi sesuatu yang lebih sederhana—ibu yang bahagia, istri yang kuat, dan perempuan yang terus belajar mencintai dirinya sendiri.

Karena pada akhirnya, perjalanan ini bukan tentang seberapa jauh aku melangkah, tapi tentang bagaimana aku bertahan dengan hati yang utuh.

Aku adalah Ulfa—perempuan yang belajar menaklukkan waktu, bukan dengan kekuatan, tapi dengan kasih yang tak pernah habis.

Dan di antara detik yang terus berjalan, aku tahu:
aku tidak sedang tertinggal oleh waktu—
aku sedang tumbuh bersamanya.

Share this:

CONVERSATION

0 komentar:

Posting Komentar