Menjadi seorang ibu adalah anugerah terindah yang pernah aku terima. Namun menjadi seorang ibu bekerja—itulah bab baru dalam hidupku yang penuh warna, haru, dan pelajaran yang tak pernah berhenti.
Setelah kehadiran Hannah, hidupku berubah sepenuhnya. Ada tawa kecil yang mengisi pagi, aroma tubuh bayi yang membuat lelah seketika sirna, dan tatapan polos yang selalu berhasil menenangkan jiwa. Tapi di balik semua itu, ada juga perasaan yang sulit kujelaskan—perasaan bersalah yang diam-diam tumbuh setiap kali aku harus meninggalkannya demi kembali bekerja.
Tiga bulan cuti melahirkan terasa seperti sekejap mata. Rasanya baru kemarin aku belajar memandikannya dengan tangan gemetar, kini aku harus menyiapkan diri mengenakan sepatu kerja lagi, menata wajah agar tampak siap, padahal hati masih setengah tertinggal di rumah.
Menjadi ibu bekerja bukan perkara mudah. Di kantor, aku dituntut untuk tetap profesional, berpikir cepat, dan menuntaskan pekerjaan tanpa celah. Di rumah, aku tetap harus menjadi ibu yang penuh kasih, yang hadir sepenuhnya bagi keluarga. Dua dunia yang berbeda, tapi keduanya sama-sama penting — dan di antaranya, aku belajar untuk bertahan.
Kadang, stigma orang-orang terasa menyesakkan. Ada yang berbisik, “Sayang ya, anaknya dititip.” Ada pula yang berkata dengan nada lembut tapi menusuk, “Nanti nggak terlalu dekat sama ibunya, ya?” Mereka tak tahu, betapa hati seorang ibu bekerja sering kali penuh pertarungan batin. Betapa banyak doa yang kuucapkan setiap kali melangkah keluar rumah: semoga Hannah selalu baik-baik saja, semoga hatinya tahu bahwa ibunya bekerja juga demi dirinya.
Namun di balik semua rasa bersalah itu, aku belajar menemukan kebahagiaan kecil di setiap sudut kehidupan. Bahagia saat melihat Hannah tersenyum ketika aku pulang. Bahagia saat mendengar suamiku berkata, “Terima kasih sudah kuat.” Bahagia karena masih bisa menjalani peran ini dengan cinta yang utuh, meski jalannya tak selalu mudah.
Aku tak akan mampu melewati semua ini tanpa mereka — suamiku yang tak pernah lelah menjadi tempat bersandar, Abah dan Nenek Hannah yang selalu membantu merawat dengan kasih yang tak terhingga, juga keluarga yang selalu hadir memberi semangat tanpa diminta. Mereka adalah sayap yang membuatku tetap terbang, bahkan di hari-hari yang paling berat.
Kini aku menyadari, menjadi ibu bekerja bukan tentang membagi waktu antara karier dan keluarga, tapi tentang belajar mencintai keduanya dengan cara yang berbeda. Tentang menerima bahwa tak ada ibu yang sempurna, yang ada hanyalah ibu yang terus berusaha—setiap hari, dengan cinta yang tak pernah habis.
Untuk Hannah, kelak saat kamu dewasa dan membaca ini, semoga kamu tahu… bahwa setiap langkahku, setiap kerja keras yang kulakukan, selalu ada namamu dalam setiap niatnya. Karena kamu adalah alasan terindah mengapa aku terus berjuang. 💕


0 komentar:
Posting Komentar