Hari itu awalnya berjalan seperti biasa. Ibu dan Bapak sibuk dengan aktivitas rutin: membuka warung, merapikan rumah, dan menata segala sesuatu dengan penuh kesabaran. Aku sendiri sedang libur bersama suami, menikmati waktu berharga bersama Hannah. Sore itu, menjelang Magrib, Bapak pamit untuk berangkat ke masjid. Namun, malam itu menjadi titik perpisahan kami. Bapak tidak pernah pulang lagi.
Di rakaat pertama salat Magrib, Bapak tersungkur. Ia tak pernah bangun lagi untuk selama-lamanya. Kematian yang begitu dirindukan setiap muslim—meninggal dalam keadaan beribadah—justru menghampiri Bapak dengan cara yang begitu indah sekaligus menyayat hati kami.
Duka mendalam seketika menyelimuti.
Rasanya sulit percaya bahwa peristiwa itu nyata. Tangis pecah di rumah kami, terutama ketika aku melihat orang yang paling kusayangi meraung dan meluapkan segala rasa kehilangan.
Hari-hari setelahnya penuh dengan air mata, dengan pertanyaan tanpa jawaban: Mengapa begitu tiba-tiba? Mengapa harus menimpa kami?
Bapak sangat menyayangi cucu pertamanya, Hannah. Demi Hannah, Bapak rela berhenti bekerja dan pindah ke Bandung untuk membantu pengasuhan. Setiap hari ia menjaga, menemani, dan menyiapkan banyak rencana indah bersama cucunya.
Ada begitu banyak keinginan Bapak yang belum sempat terwujud. Namun, jika Bapak diberi pilihan—hidup sepuluh tahun lagi atau pulang dalam keadaan sedang sujud kepada Sang Pencipta—kami yakin Bapak akan memilih seperti yang sudah terjadi: kembali pada Tuhan dalam ibadah yang paling khusyuk.
Kini, kami perlahan belajar untuk bangkit. Dua minggu pertama terasa amat berat; setiap sudut rumah masih penuh dengan kenangan. Namun kami dikuatkan oleh satu hal: senyum Bapak yang begitu tenang di akhir hayatnya. Sebuah tanda bahwa ia telah pulang dengan damai.


0 komentar:
Posting Komentar