image1 image2 image3

HELLO WORLD I'IAM ULFAH CHOIRUN NISSA|WELCOME TO MY PERSONAL BLOG|I LOVE TO DO CREATIVE THINGS|I'M PROFESSIONAL WEB DEVELOPER

Memaknai Arti Kata Kehilangan


Semakin dewasa, semakin aku menyadari bahwa di dunia ini tak ada yang benar-benar abadi. Semuanya akan kembali pada Sang Pencipta. Saat kecil, aku percaya orang tua akan selalu ada—menjaga, mendampingi, dan melihatku tumbuh hingga tua seperti mereka. Kala itu, tak pernah terlintas di benakku bahwa suatu hari mereka pun akan menua, melemah, dan akhirnya berpulang.

Tahun 2012 menjadi titik pertama aku tersadar. Bapak—lelaki yang selalu terlihat kuat, sehat, dan penuh semangat mencari nafkah—tiba-tiba tumbang. Sakit itu menyeretnya ke rumah sakit, bahkan hingga ke ruang ICU. Sehari, dua hari, hingga sebulan lamanya ia berjuang di ranjang perawatan. Saat itu, hatiku diguncang. Aku yang dulu menganggap bapak akan selalu ada, tiba-tiba dihadapkan pada kenyataan bahwa sakit bisa menimpa siapa saja, kapan saja. Alhamdulillah, Allah masih memberi kesempatan. Perlahan bapak kembali pulih, bisa beraktivitas lagi, dan aku belajar satu hal berharga: menghargai setiap waktu bersamanya, menjadikan setiap momen sederhana sebagai kenangan yang tak ternilai.

Tahun-tahun pun bergulir. Kondisi bapak memang tak lagi sekuat dulu. Sesekali, ia masih harus dirawat inap ketika tubuhnya melemah. Namun, bapak tetap bertahan, tetap tersenyum, hingga akhirnya mampu menyaksikan aku menyelesaikan kuliah dan meraih gelar sarjana. Ia sempat melihatku menapakkan kaki pertama dalam dunia kerja di sebuah Kementerian. Aku tahu, di balik senyumnya, ada rasa bangga yang tak pernah diucapkan.

Namun, Agustus 2019 menjadi bulan terberat dalam hidupku. Hanya berselang empat hari setelah ulang tahunku, Allah memanggil bapak. Dunia serasa runtuh. Sebagai anak, aku merasa belum cukup berbakti. Hati ini dipenuhi “mengapa” dan “seandainya.” Mengapa harus sekarang? Seandainya bisa lebih lama… Tapi waktu tak bisa diputar. Perlahan, aku belajar ikhlas. Belajar menerima bahwa cinta sejati kadang diwujudkan dengan melepaskan.

Kehilangan bapak bagiku sungguh menyakitkan. Aku begitu dekat dengannya—hampir setiap hari kami bertukar kabar, bahkan di perantauan bapak tak pernah lupa menelpon, menanyakan sekadar, “Sudah makan?” atau “Bagaimana harimu?” Suaranya kini hanya tersisa dalam ingatan, namun kehangatannya tetap hidup di hati. Meski begitu, aku tahu, luka terdalam bukan milikku, melainkan milik mama. Ia kehilangan pasangan hidup, teman berbagi cerita, sandaran dalam suka dan duka. Aku hanya bisa mencoba menguatkan, walau aku sendiri rapuh.

Kini aku paham. Menjadi dewasa berarti siap menghadapi kehilangan. Menjadi dewasa berarti percaya bahwa skenario Allah adalah yang terbaik, meski sering tak sesuai dengan keinginan hati. Karena itu, aku selalu mengingatkan diriku sendiri: gunakan setiap waktu yang Allah berikan untuk mencintai, menyayangi, dan membahagiakan orang tua. Sebab, saat mereka tak lagi ada, hanya doa dan kenangan yang tersisa.

Bapak, meski ragamu telah kembali pada-Nya, cintamu tak pernah pergi. Ia hidup di setiap langkahku, menjadi cahaya yang menuntunku. Aku anakmu, selalu akan menjadi anakmu. Dan di hatiku, engkau abadi.


Share this:

CONVERSATION

0 komentar:

Posting Komentar