image1 image2 image3

HELLO WORLD I'IAM ULFAH CHOIRUN NISSA|WELCOME TO MY PERSONAL BLOG|I LOVE TO DO CREATIVE THINGS|I'M PROFESSIONAL WEB DEVELOPER

Pelan Tapi Tetap Indah: Sebuah Cerita Tentang Kita


Ketika Hujan Jatuh di Antara Kenangan

Ada sore yang tak pernah benar-benar pergi dari ingatan. Sore yang berbau tanah basah dan nostalgia—saat waktu seolah berhenti di antara deru kendaraan dan desir dedaunan yang menua.
Di situlah kisah mereka kembali: sembilan nama, sembilan hati, sembilan arah yang pernah bertaut di satu kampus kecil di sudut kota.

Kini, bertahun kemudian, hanya keheningan yang tahu bahwa di balik tawa mereka di grup pesan singkat, tersimpan sejarah kecil yang nyaris dilupakan: cinta yang tak sampai, janji yang tak terucap, dan kedekatan yang pernah nyaris menelan segalanya.

Naratornya—perempuan periang yang mereka panggil Nissa—kadang menatap layar ponselnya lebih lama dari seharusnya. Ia membaca ulang obrolan lama, seolah di balik kalimat singkat “lagi di mana?” tersimpan seluruh degup muda yang dulu membangun hari-hari mereka.

Ada Regi, dengan tawa lepas dan keteguhan yang aneh.
Ada Nannya, gadis manis yang menjadi alasan banyak doa lirih di antara tugas dan malam begadang—sering datang ke kamar Nissa hanya untuk berbagi cerita, curhat tentang hal-hal kecil yang ternyata tidak kecil bagi hatinya.
Ada Tama, tenang dan dalam, seolah setiap rahasia aman bersandar di bahunya.
Dan ada Asma, Lisa, Putri, Ros, dan Purna—mereka semua, bagian dari lingkar kecil yang dulu mereka sebut An-Naba; nama yang entah mengapa terasa begitu sakral dan lucu di masa itu.

Dari luar, mereka hanyalah sekelompok mahasiswa biasa. Tak ada yang mencolok dari cara mereka berjalan di koridor fakultas. Tidak ada yang akan menyangka bahwa di balik tawa, tersimpan riwayat perasaan yang rumit dan jujur. Mereka berbagi contekan, berbagi kopi sachet, berbagi keluh tentang dosen—tapi juga berbagi diam yang tak terjelaskan.

Dan dari semua kisah yang tumbuh di antara mereka, Regi-lah yang menjadi poros kenangan.
Dialah alasan mengapa Nissa menulis di buku catatannya:

“Beberapa perasaan tidak pernah benar-benar pergi, hanya berubah menjadi cara baru untuk tetap tinggal.”

Regi dulu mengagumi Nannya dengan cara yang tulus dan sederhana. Ia menunggu setiap isyarat, menafsirkan setiap senyum sebagai harapan kecil. Tapi semesta, seperti biasa, punya cara yang lain. Nannya tak pernah benar-benar membalas—entah karena belum siap, atau karena hatinya memang bukan di sana.

Dan entah sejak kapan, Nissa—sahabat tempat Nannya bercerita—ikut larut dalam kisah Regi. Ia tak tahu kapan perasaannya mulai bergeser; mungkin di antara tawa, mungkin di antara lembur tugas, atau mungkin saat Regi dengan polosnya minta tolong diajari materi kuliah yang sama sekali tak ia pahami.

Yang Nissa tahu, setiap kali Regi bercerita tentang kegagalannya membuat Nannya tersenyum, hatinya ikut retak sedikit demi sedikit. Namun ia tetap di sana—menjadi pendengar, penenang, sekaligus penghubung antara dua hati yang tidak pernah benar-benar bersatu.

Hingga suatu Desember yang dingin, langkah mereka terlalu dekat, dan batas “teman” tak lagi jelas.
Tak ada pengakuan, tak ada janji. Hanya kebersamaan yang terlalu sering, dan keheningan yang terlalu nyaman.
Sampai akhirnya, seseorang memilih menjaga jarak—takut kalau kebersamaan itu berubah menjadi luka.

Dan di situlah segalanya mulai bergeser.
Ketika satu hati mundur, hati lain justru maju. Ketika satu rasa tumbuh, rasa lain layu.
Yang tersisa hanyalah tawa yang dipaksakan di ruang makan kampus, sementara mata mereka berpura-pura tak saling tahu.

Namun di balik setiap perasaan yang tak selesai, persahabatan mereka justru tumbuh. Mereka memilih menjaga satu sama lain, bahkan ketika hati harus sedikit dikorbankan.


Tentang Rasa yang Tak Selesai dan yang Tak Pernah Dimulai

Sementara kisah Regi dan Nissa menemukan bentuknya sendiri, kehidupan di lingkar An-Naba terus berputar dengan caranya yang ajaib.

Di antara tawa yang terdengar di kantin dan langkah-langkah yang terburu menuju kelas, ada cerita lain yang tumbuh diam-diam—tentang Tama, Asma, dan Putri.

Tama selalu menjadi sosok yang tenang. Ia tak banyak bicara, tapi sekali tersenyum, semua orang merasa aman. Di balik tatap matanya yang teduh, ada perasaan yang ia sembunyikan rapat—perasaan yang tumbuh pelan-pelan setiap kali Asma tertawa lepas, setiap kali gadis itu datang membawa semangat bahkan ke hari yang paling kusut.

Asma adalah cahaya kecil di antara mereka. Ia tak pernah tahu betapa banyak hati yang diam-diam berputar di orbitnya. Hidup baginya sederhana: belajar, bercanda, menertawakan hal-hal remeh bersama teman-temannya. 

Tama menuliskan namanya di sudut catatan kuliah—kecil, samar, seolah takut diketahui siapa pun. Kadang ia menulis bait pendek yang tidak pernah selesai. Ia tahu perasaannya mungkin hanya sepihak, tapi entah mengapa, tetap ia pelihara. Karena mencintai dalam diam, baginya, adalah cara paling tulus untuk menjaga seseorang tanpa merusak apa pun.

Namun, di sisi lain lingkar kecil mereka, ada Putri—si pendiam yang paling peka. Ia tak pernah mencoba mencuri perhatian, tapi selalu memperhatikan. Ia tahu bagaimana Tama menatap Asma saat gadis itu berbicara, tahu bahwa tawa Tama sedikit berbeda ketika Asma ada di dekatnya.
Dan meski tahu semuanya, Putri tetap di sana—menyimpan rasa, menyamarkannya dengan senyum yang nyaris tak berubah.

Putri sering duduk di dekat Tama. Ia hafal kebiasaan kecilnya—cara Tama menggulung lengan kemeja saat gugup, atau bagaimana ia lebih suka teh hangat daripada kopi favorit teman-teman lain.
Rasa itu tumbuh tanpa janji, tanpa keberanian, hanya ada getar yang pelan-pelan menjelma menjadi penantian sunyi.

Sampai suatu hari, ketika semuanya tampak baik-baik saja, seorang perempuan baru hadir dalam lingkar kehidupan Tama.
Ia bukan bagian dari kami. Seorang rekan kampus yang lembut dan sederhana, datang pada saat Tama sedang rapuh—ketika tugas menumpuk, saat Asma mulai sibuk dengan dunia barunya, saat kesunyian jadi teman paling sering menemani.
Perempuan itu tak tahu apa-apa tentang kisah lama Tama. Ia hanya hadir dengan perhatian yang ringan tapi nyata. Dan tanpa disadari, perhatian itu menjadi tempat baru bagi hati Tama berlabuh.

Sejak saat itu, jarak mulai terasa.
Putri yang dulu selalu hadir disetiap perkumpulan, mulai memilih diam. Ia datang, tapi tubuhnya seperti tak lagi di sana. Tawa-tawanya menipis, matanya tak lagi mencari.
Bukan karena marah, tapi karena lelah mencintai tanpa tahu bagaimana cara berhenti.

Malam itu, hujan turun di luar jendela 
Putri menangis di kamar bersama Nissa dan Nannya.
Asma mencoba bercanda, seperti biasanya—tentang dosen yang lucu, tentang tugas yang belum selesai—tapi tak ada yang tertawa.
Nissa memeluk Putri pelan, sementara Nannya hanya menatap kosong, seolah memahami sesuatu yang terlalu sulit diucapkan.
Dan di tengah isak yang tertahan, mereka semua tahu—ada sesuatu yang retak di antara tawa yang dulu membuat mereka utuh.

Putri menjauh bukan karena marah, tapi karena lelah menyimpan sesuatu yang tak pernah punya tempat.Tama sadar, namun memilih diam. Ia takut memperbaiki sesuatu yang sudah patah akan membuat semua tambah rumit. Hingga akhirnya waktu menghapus sebagian rasa.

Di antara riuhnya kisah cinta, tawa, dan air mata, selalu ada satu sosok yang menjadi jangkar — Ros.
Ia bukan yang paling sering bicara, bukan pula yang paling mencolok di antara kami. Tapi entah bagaimana, kehadirannya selalu menenangkan, seperti secangkir teh hangat di tengah malam yang dingin.

Ros bukan tipe yang akan menasihati panjang lebar. Ia lebih sering mendengarkan, menatap dalam-dalam sebelum akhirnya berkata pelan, “Udah, nanti juga reda.”
Dan anehnya, kalimat sesederhana itu bisa menenangkan kami lebih dari seribu teori.

Dan mungkin, tanpa kami sadari, Asma dan Ros adalah alasan mengapa geng ini bisa terus bertahan.
Mereka bukan hanya penenang di saat badai datang, tapi juga tangan yang diam-diam menggenggam erat kami semua agar tidak tercerai oleh waktu.

Asma dengan tawa riangnya yang selalu bisa mencairkan suasana, dan Ros dengan ketenangan yang menuntun kami kembali pada arah.
Ketika salah satu dari kami mulai menjauh, Asma yang lebih dulu mengirim candaan; ketika hati salah satu di antara kami mulai goyah, Ros yang datang membawa keheningan yang menenangkan.

Mereka seperti dua sisi dari keseimbangan: satu membawa cahaya, satu menjaga api agar tak padam.
Dan mungkin tanpa mereka, geng ini sudah lama hanya tinggal kenangan yang berdebu.

Namun berkat keduanya, kami tetap bisa berjalan beriring —
meski jarak memisahkan, meski waktu mengubah banyak hal. 

Luka Lain : Cinta yang Tak Selesai

Lisa, si pelukis geng, pernah mencintai seseorang dengan cara yang membuat kami semua geleng kepala.

Ia mencintai seperti melukis—setiap garisnya jujur, setiap warnanya hidup.
Ia bucin, tapi indah. Ia menyerahkan hatinya seutuhnya, seolah cinta itu satu-satunya bahasa yang ia tahu.

Namun cinta itu justru membuatnya lelah—karena yang ia tunggu tak pernah benar-benar datang.
Seseorang yang selalu memberi harapan samar, datang dan pergi sesuka waktu.
Kami sering menasihatinya, “Lepaskan saja, Lis.”
Tapi Lisa hanya tersenyum, dengan mata yang sudah menyimpan terlalu banyak lelah.
“Aku nggak bisa lepas dari apa yang belum sempat selesai,” katanya pelan.

Dan mungkin benar—beberapa cinta memang tidak diciptakan untuk berakhir,
hanya untuk mengajarkan kita bagaimana cara bertahan.
Bagaimana mencintai tanpa harus memiliki,
dan bagaimana merelakan tanpa benar-benar berhenti berharap.

Lisa kemudian belajar melukis bukan lagi untuk seseorang, tapi untuk dirinya sendiri.
Setiap goresan di kanvas menjadi cara ia menyembuhkan diri—
karena kadang, satu-satunya tempat yang aman untuk hati yang patah adalah warna-warna yang kita ciptakan sendiri.

Lalu ada Purna—lelaki paling lucu di antara kami.
Ia selalu menjadi penghibur setiap kali suasana mulai suram.
Namun di balik tawa lebarnya, tersimpan kisah yang diam-diam perih.
Setelah lulus, ia bertemu seorang perempuan—modis, pintar, dan menawan.
Cinta itu terasa seperti rumah: hangat, sederhana, dan benar.

Namun suatu hari, rumah itu tiba-tiba kosong.
Perempuan itu pergi tanpa alasan, meninggalkan tanya yang tak pernah dijawab.
Purna sempat terdiam lama—tidak karena marah, tapi karena kecewa pada harapan yang ia bangun terlalu tinggi.
Namun bukannya pahit, ia memilih menertawakan takdirnya sendiri.

“Kalau cinta itu ujian,” katanya sambil tersenyum getir,
“mungkin aku sudah remedial tiga kali, tapi tetap daftar ulang.”
Kami semua tertawa, tapi di dalam tawa itu ada sejumput sedih—
karena hanya Purna yang bisa menyembunyikan luka dengan candaan yang hangat.

Cinta pertama mereka mungkin tidak berakhir indah.
Tapi dari sanalah mereka belajar, bahwa tidak semua yang datang harus dimiliki,
dan tidak semua yang hilang berarti kalah.

Ada cinta yang datang untuk menetap,
ada cinta yang datang hanya untuk mengajarkan,
dan ada cinta yang datang… hanya untuk menunjukkan versi terbaik dari diri kita sebelum akhirnya pergi.

Dan pada akhirnya, ketika kami menoleh ke belakang—
semua cinta, tawa, dan luka yang pernah singgah,
ternyata hanyalah cara semesta membuat kami tumbuh.
Kami bukan lagi anak muda yang gegabah mencinta,
tapi jiwa-jiwa yang pernah jatuh, patah, lalu belajar tersenyum lagi.


 Waktu, Seperti Kopi Dingin yang Tak Habis Diminum

Tahun berganti, dan foto-foto lama semakin berdebu dimakan usia.
Namun setiap kali mereka bertemu, semuanya kembali seperti dulu.
Mereka tertawa tentang dosen yang sudah pensiun, bercanda tentang tugas yang dulu membuat stres, dan diam-diam—tentang cinta yang mereka pikir dulu begitu serius.

Nannya menikah lebih dulu, disusul Regi dan Nissa beberapa bulan kemudian—
seolah semesta akhirnya menulis ulang kisah mereka dengan cara yang lebih indah.
Bukan akhir yang mereka bayangkan dulu, tapi akhir yang ternyata paling tepat.
Di antara senyum, doa, dan kilau lampu pesta, terselip kelegaan yang sulit dijelaskan—
kelegaan karena akhirnya, setiap hati menemukan jalannya masing-masing.

Tama masih sendiri, melangkah dengan tenang di antara kesibukan hidupnya.
Ia belajar bahwa kesendirian bukanlah kekosongan, melainkan ruang untuk tumbuh—
tempat ia belajar memahami arti sabar, dan menerima bahwa tidak semua yang tertunda berarti terlambat.

Putri kini sudah berdamai dengan masa lalu.
Ia fokus meniti karier, menulis kisah hidupnya dengan tinta kebijaksanaan,
dan mencintai dengan lebih hati-hati—karena ia tahu, hati yang pernah patah tak lagi bisa sembarang diserahkan.

Asma tetap menjadi cahaya di antara mereka.
Suaranya masih yang paling lantang ketika tawa kembali menggema,
dan kehadirannya selalu jadi alasan mengapa setiap pertemuan terasa hidup kembali.

Lisa kini juga telah menemukan pendamping hidupnya—
cinta yang tenang, dewasa, dan abadi dalam cara yang sederhana.
Namun di sudut ruang kerjanya, masih tergantung satu lukisan lama,
sebagai pengingat bahwa pernah ada cinta yang tak selesai,
yang kini hanya tinggal warna lembut di antara kenangan.

Ros, si penenang hati, tetap menjadi tempat semua pulang.
Ia selalu hadir tanpa diminta, dengan ketenangan yang menular,
dengan tatapan yang mampu membuat siapa pun merasa aman.
Ia seperti rumah yang tak pernah berubah—
selalu ada, bahkan ketika semua sedang berjarak.

Dan Purna, seperti biasa, masih menjadi penghibur yang paling tulus.
Meski hatinya pernah retak, ia tetap tahu cara membuat dunia di sekitarnya terasa ringan. Lewat canda dan kehangatannya, ia mengajarkan kami bahwa kebahagiaan tak selalu berarti tanpa luka

Kadang, di antara mereka, ada yang berkata:

“Kita dulu rumit, ya?”
Dan yang lain menjawab sambil tertawa,
“Rumit, tapi indah.”

Mereka tahu kini, cinta masa muda bukan untuk dimiliki selamanya—
ia hanya menuntun agar mereka tahu cara mencintai dengan lebih baik.

Di malam yang sepi, saat pesan grup kembali hening, Nissa menulis di buku hariannya:

“Kami tak lagi bersama, tapi kami pernah saling menemukan.
Dan itu cukup. Karena cinta yang tulus tidak selalu butuh nama.”

Dan di sore yang lain, ketika hujan kembali turun seperti dulu, sembilan hati itu tahu:
waktu boleh berjalan, hidup boleh berubah,
tapi persahabatan mereka tetap abadi
seperti aroma tanah basah yang selalu mengingatkan,
bahwa ada masa di mana cinta, tawa, dan persahabatan pernah berpadu jadi satu cerita.

Satu dekade berlalu, tapi kami masih di sini—mengukir kisah persahabatan yang tak pernah usai.

Share this:

CONVERSATION

1 komentar: