Sebuah kisah perantauan dari masa ke masa. Berawal dari tahun 2013 hingga 2024, lebih dari sepuluh tahun aku merasakan tempat, suasana, dan cerita yang berbeda di setiap kosan. Aku rasa, menjalani hidup dari kosan ke kosan selama 10 tahun bukanlah sesuatu yang menyulitkan. Justru di setiap tempat aku belajar banyak hal. Dari kamar kecil yang harus dibagi bersama teman, sampai akhirnya tinggal bersama teman hidupku sendiri. Ada banyak suasana, makanan, dan cerita yang selalu terbayang ketika mengingat masa-masa itu. Ada pula orang-orang serta lingkungan yang memberi warna, yang diam-diam selalu kuamati dan kujadikan pelajaran.
Kosan Perdana – Kircon, Bandung (2013)
Pertama kali ngekos saat praktik kerja lapangan masa SMK. Sebenarnya lebih tepat disebut kontrakan keluarga di daerah Kircon. Aku dan Amel sering merenung, karena suasananya cukup berat: banyak keluarga tinggal di lahan terbatas. Tetangga sebelah, yang kusebut Tonari, seorang mahasiswa cowok yang jadi primadona ibu-ibu kontrakan. Dari sini aku belajar bahwa merantau tidak selalu tentang kemandirian, tapi juga tentang bagaimana bertahan di lingkungan baru yang penuh warna.
Kosan Pak Haji – Bandung
Sebulan setelahnya, kami pindah ke kosan Pak Haji. Di sinilah aku, Amel, Alfi, dan Jaka—geng PKL Pindad—mengukir banyak cerita. Mulai dari punya banyak teman sesama PKL, nobar horor ramai-ramai, sampai kamar kami digusur mendadak seminggu sebelum selesai kos. Akhirnya, kami tidur di rumah Ibu Kos yang menyiapkan kamar dadakan. Maksa sih, tapi kocak banget kalau diingat. Kosan ini diisi banyak mahasiswa, jadi suasananya seru dan penuh energi.
Kosan Pondok Bunga – Bandung (2014)
Tahun 2014, aku kembali merantau ke Bandung untuk kuliah di UIN bersama tim Sukabumi. Kosan ini bernuansa Islami, lokasinya strategis—dekat kampus, warnet, toko buku, hingga warteg. Dihuni sekitar 10 mahasiswi dari jurusan dan angkatan berbeda, walau yang mendominasi adalah anak-anak baru dari Sukabumi. Kami biasa kumpul di ruang tengah untuk nonton TV atau ngerjain tugas bareng. Yang paling epic, ada warnet persis di depan kosan. Bahkan ada Dewa, anak warnet yang suka bantu bikin tugas sambil begadang. Di sini aku belajar hidup bareng banyak kepala: kadang berisik, kadang ribut, tapi bikin kenangan yang hangat.
Kosan Amah – Bandung (Masa Kuliah)
Nah, ini kosan dengan cerita paling panjang. Aku tinggal di sini bersama Eci dan Tika. Tanpa banyak rencana, tiba-tiba saja kami dipersatukan. Dari sinilah Annaba semakin solid. Kosan Amah diisi anak-anak UIN, kebanyakan cowok. Lokasinya agak jauh dari kosan sebelumnya, tapi lebih dekat ke gerbang depan kampus.
Banyak drama terjadi: ambisi belajar, persahabatan, cinta, sampai realita hidup. Keluarga Amah sendiri cukup toxic, tapi sisi positifnya ada Teh Nani—koki andalan kami. Soal perut, aman banget! Mau ada uang atau nggak, selalu bisa makan tenang. Tempatnya sederhana, tapi karena dilewati bersama Annaba, seburuk apapun tetap jadi indah kalau dikenang.
Kosan Pertama di Jakarta (2019)
Perantauan Jakarta dimulai 2019. Awalnya aku numpang di kosan Taro untuk tes kerja. Setelah diterima, aku pun lanjut tinggal di sana. Kosannya kosan putri yang cukup ketat. Baru beberapa hari, sudah ada drama: penghuni sebelah digerebek karena bawa cowok, dan langsung diusir keesokan harinya.
Kehidupan di sini agak ribet: air sering mampet, penjaga kos jutek, penghuni kurang ramah, dan jarak jauh dari kantor bikin tiap hari kena macet. Aku cuma bertahan sebulan setengah di sini. Pelajarannya jelas: nggak semua kosan bisa jadi “rumah”.
Kosan Ibu Mala – Jakarta
Setelah itu, aku pindah ke kosan Ibu Mala. Suasananya terasa seperti rumah sendiri. Aku, Taro, dan Amel bukan hanya penghuni kos, tapi serasa jadi anaknya. Setiap hari ada cerita baru, dan setiap libur, Ibu Mala rajin banget ngebangunin kami seperti anak kandungnya.
Memang ada suka dukanya, terutama karena sering bersinggungan dengan keluarga besar beliau. Tapi Ibu Mala orang yang sangat baik. Dua tahun hidup di sini penuh kehangatan. Rasanya sedih ketika tahun 2023 jadi pertemuan terakhir dengan beliau.
Kosan Pondok Bunga (Jakarta)
Karena satu dan lain hal, akhirnya aku dan Taro pindah ke kosan baru, persis di sebelah rumah Ibu Mala. Kami tinggal di lantai 3, benar-benar jadi anak kosan “sejati”. Sayangnya aku nggak terlalu banyak cerita di sini, karena sedang sibuk mempersiapkan pernikahan. Walau singkat—hanya tiga bulan—tetap jadi bagian dari perjalanan kosan kami.
Kosan Mbak Nina
Kosan terakhir yang jadi saksi langkah awal kami sebagai pasangan suami istri. Dihuni beberapa orang dengan karakter random, tapi ada juga yang jadi sahabat sejati. Dari sini, aku belajar bahwa fase hidup terus berganti: dari anak kos, jadi pasutri, lalu mulai membangun rumah tangga.
Kini, aku sudah pindah bersama suami ke “planet Bekasi”, mengawali kisah baru. Dan aku semakin yakin: di manapun kita berada, rumah bukan soal bangunan atau alamat, tapi bagaimana kita membuat tempat itu menjadi nyaman.